Tuesday, August 14, 2007

Jason Bourne, The Bourne Trilogy


August 11th, 2007

Aku barusan nonton The Bourne Ultimatum. Keren!!! Aksinya tetap keren. Adegan fighting serta kejar-kejan mobil tetap keren, meski aksi kejar-kejaran mobil lebih seru di Supremacy. Namun menurutku cacatnya terdapat dalam ceritanya. Memang sih aku udah baca di Wikipedia bahwa Ultimatum ini seolah-olah Supremacy yang terpotong, karena memang timeline-nya merupakan sambungan akhir cerita Supremacy, di mana adegan dibuka saat Bourne melarikan diri setelah tabrakan mobil di Moskow. Lalu dia menuju Paris untuk menemui kakaknya Marie dan mengabarkan bahwa Marie telah meninggal ditembak di India (Hiks..sedih…). Lalu dia mulai mencari Simon Ross, seorang wartawan Inggris yang “menjual” cerita tentang Jason Bourne-Treadstone-Black Briar. Dan seterus, dan seterusnya…

Nah cacatnya itu, di Ultimatum ini tetap saja ngga terbongkar tentang “who is the real Jason Bourne (from the past)?”. Padahal itulah yang sangat kutunggu-tunggu. Di akhir ceritanya Jason (atau David Webb, nama aslinya) ingat bahwa dulunya dia seorang soldier yang telah secara sukarela mengikuti proyek Treadstone dan menerima konsekuensi bahwa dia akan kehilangan identitasnya sebagai David Webb. But that’s all. Ngga ada cerita tentang siapa dia di masa lalu sebagai David Webb.

Kalau dibandingkan buku dengan filmnya, ceritanya menyimpang jauh. Di akhir buku pertama (Identity) Jason tau siapa nama aslinya dan bahwa keluarganya (anak dan istrinya) meninggal di Thailand. Tapi di film tidak diceritakan tentang ini. Mungkin juga sih, clue bahwa Jason udah berkeluarga dapat dibaca di film pertama (Identity) ketika ia batal menembak Wombosi karena dilihatnya Wombosi sedang memangku putranya. Perbedaan lainnya adalah dalam tokoh Marie, di buku Marie tidak meninggal dan malah menjadi istri Jason. Tapi di film…, huh…menyedihkan sekali. Marie meninggal di film kedua (Supremacy). Sebenarnya aku berharap Marie muncul kembali di Ultimatum. Skenarionya gini, Marie ditemukan oleh penduduk setempat di India dan berhasil diselamatkan, lalu dia pergi mencari Jason (yang menduga Marie telah meninggal) dan akhirnya mereka bertemu dan bersama-sama mengakhiri cerita ini. Tapi sayangnya malah Nicky Parson yang menggantikan peran Marie di sini. Ah, Nicky ngga bagus mainnya.

Yang menarik dari trilogi The Bourne adalah adegan fightingnya yang ngga seribet James Bond atau Mission Impossible. Manusiawi banget deh adegan fighting-nya. Kalo James Bond figthing memakai gadget yang aneh-aneh, Jason sih apa aja bisa jadi weapon-nya. Di Identity dia Cuma make pena untuk fighting, di Supremacy dia menggunakan majalah yang dilipatnya, sedangkan di Ultimatum dia hanya melawan dengan tangan kosong namun dia berhasil merebut senjata lawannya.

Terus lagi, ngga ada Cewek Bourne layakanya Cewek Bond. Yang ada Cuma Marie yang juga menjadi incaran CIA. Nah, terus lagi yang paling menarik adalah karakter Jason itu sendiri yang beda sama James Bond. Dia seorang agen CIA yang kehilangan ingatannya, berjuang mengetahui siapa dirinya, ingin melarikan diri dari CIA namun malah ia menjadi incaran CIA.

Farewell, Best Friends, Icha, Eka, Fenny, Medan

August 10th, 2007

I cried. God, I don’t know why suddenly I drop the tears. As the bus left and I look at Kak Icha for the last time, I cried. I guess it wasn’t for her only, but for Medan and the people I know. I’ve no idea when I will ever coming back again, this might be the last time I saw Medan. I will miss it.

So now I’ve lost Kak Icha. I’ve lost 3 bestfriends. Eka, Fenny, and Kak Icha. I never that I meant so much for her. I thought we were just good friend, cuz she has lots of close friends at her college and we know each other for a year only, but the message she sent me says that I meant a lot for her. If only I knew earlier, I would treat her more than just a good friend.

Aku sangat menyesal ketika aku kehilangan Eka. Aku tidak memanfaatkan waktu dengannya dengan sebaik-baiknya karena saat itu kupikir kami tidak akan berpisah lama. Kupikir walaupun aku di Medan dan dia di Jambi, kami akan bertemu kembali saat liburan dan lebaran. Dia pasti akan pulang ke Kerinci bersama keluarganya. Tapi ternyata semua tak seperti yang kupikirkan. Dia memang pernah pulang ke Kerinci, but in different circumstance, she came with her husband and her little boy. I didn’t come to see her on her marriage, I wasn’t there when I know she needed to talk with me. Things are completely different now. I miss those days when she used to sleep at mine and we talked all night about the future, school, and (of course) boys…

Fenny, she’s my angel. I felt like i’m complete when she’s around. I don’t need anybody cuz I got her. I remember that we used to escape OM’s class cuz it’s really boring. We used to sit together, going anywhere together. We’ve known each other in our freshman year, but feels like we’ve known each other from long ago. And she left me cuz she was accepted in UNSYIAH in our sophomore year. She left. And (again!), I wasn’t there to watch her left, to say goodbye. I miss her.

Medan, huh…entah kapan aku bisa kembali lagi. Aku sudah di sini selama 4 tahun 1 bulan. Medan sudah seperti kampung halamanku. Aku ingat dulu ketika orangtuaku melarangku untuk kuliah di USU dan memaksaku untuk kuliah di Padang atau Jambi, tapi aku menolak keras. Aku ingin di Medan, aku merasa inilah kesempatanku untuk keluar. Kalau aku di Jambi atau di Padang, itu sama saja dengan di Kerinci, artinya aku masih diintervensi oleh keluargaku sehingga aku tak bisa bebas menentukan hidupku.

Dan aku tak tahu apakah aku akan kembali ke Medan suatu hari nanti, apa aku masih bisa main-main ke pajus, tempat hang-out favoritku.

I’m gonna miss it.

Wednesday, August 8, 2007

Gagal, Menyesal, Moving Out, Maling, TOEFL

August 6th, 2007

Tadi siang aku di-sms abangku, “Kau ngga lulus. Jadi gimana?”. Haha..tiba-tiba saja aku tertawa kecil cuz I don’t know how to define what I felt that moment. Sedih, kecewa, malu, dan cuapek dehh (siang tadi aku kecapekan + gerah banget oleh cuaca yang menyengat). Ku balas sms abangku dengan singkat dan yakin, “well, step to plan B. This year I will pursue other chances while seeking for job here in Medan. But I’m confuse how to tell mom bout this.” Ya, I certainly will be okay if I fail cuz I can heal myself, but what I’m afraid of is what my parents would feel. Ortu-ku berharap banyak padaku, jadi jika aku gagal maka aku akan merasa sangat bersalah. Bagiku gagal bukanlah hal yang besar karena justru dari kegagalan itulah aku banyak belajar. Belajar kekurangan/kekhilafan, belajar bersabar, dan tentunya belajar bersyukur dengan apa yang telah kumiliki. Kegagalan membawa pelajaran hidup berharga, begitulah menurutku. Aku ngga takut gagal. Yang penting aku udah berusaha sebaik-baiknya, menikmati suka-duka “proses”-nya, sehingga aku tidak menyesali diri dan tidak menyalahkan orang lain jika gagal. Aku percaya pada keputusan Allah.

Well, mungkin intinya adalah aku tidak mau menyesali yang telah terjadi. Tidak mau menyalahkan diri sendiri dan tidak mau menyalahkan orang lain atas segala peristiwa kehidupan yang kualami. Oleh sebab itulah aku senantiasa menyiapkan plan B jika plan A gagal. Seperti yang kualami tadi, abangku bilang aku gagal dan otakku seolah terpola langsung mengatakan, “sekarang waktunya menjalankan plan B”. Frankly, aku agak bahagia sewaktu abangku bilang aku gagal, karena itu berarti aku ngga perlu repot packing barang2 yang segudang, dan aku bisa tetap di sini, di Medan, kota paling nyaman. Namun demikian, aku tetap akan pulang kampung untuk menjalankan puasa satu bulan penuh di kampung hingga 2 minggu setelah lebaran. Aku berencana untuk pulang minggu depan, hari rabu mungkin.

Namun setelah kubalas bahwa aku akan menjalankan plan B, abangku sms lagi, “Abang udah bilang sama mama. Kata mama kau packing barang2 sekarang terus pulang kampung sebentar dan langsung berangkat ke Bogor. Yang jelas kau harus udah nyampe di Bogor sebelum Abang ke Papua”. Hah?!?! Apa maksudnya ini??? Aku sms lagi, “Tunggu sebentar, Bang. Ngapain aku ke Bogor? Aku kan ngga lulus”. Tanpa menunggu abangku balas smsku, aku langsung telpon (untung pulsa masih ada ala kadarnya). Katanya aku lulus. Lho???ternyata tadi dia Cuma menggodaku. Alah…hal kayak gini ngga bisa diajak becanda. Katanya dalam minggu ini aku harus udah nyampe di Bogor karena dia belum tau kapan mau berangkat ke Papua. Wah..susah juga nih. Susah packing kalo buru-buru. Kalo memang harus udah nyampe Bogor dalam minggu ini (anggaplah hari minggu), itu berarti aku mesti pulang paling lama hari Rabu dari Medan jadi hari Jumat dini hari nyampe di Kerinci, lalu hari sabtu Malam berangkat dari Kerinci ke Padang, and then hari minggu subuh-subuh nyampe di Padang, siangnya berangkat ke Jakarta dan nyampe di Bogor malam (mungkin). Wau… cuapek deeehhhhhh.. Aku sih maunya berangkat akhir minggu ini, hari jumat atau sabtu atau minggu. Soalnya aku belum say bye-bye sama kawan-kawan. Kemaren tu aku berencana untuk ikut tes TOEFL, namun karena pertengahan hingga akhir Juni aku ikut tim survey ke Asahan-Tg.Balai, jadi pulangnya masih letih sehingga otak ngga bisa diajak berpikir. Otak makin paranoid ketika beberapa hari setelah nyampe di Medan (setelah pulang survey), ada maling “lewat” di kos kami sekitar jam 1-2 dini hari pas mati lampu. Memang malam itu dia Cuma lewat, mungkin malam itu dia mau nyuri tapi karena (mungkin) dia denger masih ada yang belum tidur (karena kawan samping kamarku lagi ngobrol di telpon) jadi dia “batal” nyuri. Malam itu, aku ngga tau bahwa yang lewat itu maling. Karena aku memang denger suara langkah kaki lewat di depan kamarku, tapi kemudian kau berpikir, “ah, itu Resi mau ke kamar mandi”, walau sebenarnya hati kecilku berkata, “itu bukan suara langkah kaki Resi, juga bukan langkah kaki temen kos. Lagian, kok berani kali keluar tengah malam tanpa bawa lilin?”. Karena males menganalisa plus ngantuk kali, aku cuekin instingku. Paginya, saat aku lagi bersih-bersih kamar, aku lihat di pintu letak sepatu-ku kok berubah? Kucing? Ngga mungkin kucing yang ngerubahnya hingga ke posisi sedemikian rupa. Aku mulai curiga. Kutanya Resi apakah dia keluar tadi malam dan menyenggol sepatuku, dia jawab ngga, dan katanya dia denger ada orang lewat tadi malam. Wah…, ternyata maling. Dua malam berikutnya saat mati lampu, maling itu datang lagi. Kali ini udah kami gembok pagar dalam. Dan saat dia lewat (waktu itu jam 11-an, jadi semua belum pada tidur), kami denger dengan jelas langkah kakinya, dan kemudian kami mulai saling sms-an “ada maling, jadi gimana nih?”, nah sialnya saat kami mo mempergoki dia, salah satu Hp temen kosku bunyi (ngga silent) gara-gara sms itu, dan (mungkin pasti) dia denger sehingga tiba-tiba langkah kakinya jadi cepat dan buru-buru turun dengan lompat dari atas balkon lantai 2. Haha…mudah-mudahan patah kakinya. Setelah itu dia ngga datang lagi. Namun tetap aja aku ketakukan kalo sendirian di kos.

Nah, pas otak udah bisa diajak bekerja sekitar minggu ke dua Juli, eh, “perubahan” datang. Ada temanku yang mau beli komputerku. Dengan pertimbangan bahwa aku ingin beli notebook supaya praktis dibawa pergi kemana-mana, akhirnya aku jual. Setelah komputerku, my sweetest friend, pergi…, aku jadi seperti orang bingung. Karena aku ngga bisa nonton lagi (selama ini aku pake TV Tuner)…., jadi aku kesepian sekali. Sedih…. Apalagi di kos lagi sepi karena lagi libur jadi banyak yang masih di kampung. Waduh, it was a tough time. Keadaan jadi makin chaos ketika Hpku hilang, dicuri di kamarku saat aku lagi nyuci piring di kamar mandi (sore habis hujan sekitar jam 4.45). waduh, aku kesal banget sore itu. Sedih? Jelas, tapi kesalnya itu yang dominan. Nekat kali malingnya datang menerobos terus ke lantai dua dan langsung masuk ke kamarku ngambil hp lalu pergi saat aku lagi nyuci piring sebentar di kamar mandi. Wiih…, keki banget. Memang hari itu aku ngga ngunci pintu (dan kos lagi sepi), karena biasanya kami ngga pernah ngunci pintu kalo siang hari. Walhasil, otak yang awalnya udah bisa diajak berdamai, sekarang jadi “ngambek” lagi. Kejadiannya pada minggu ketiga Juli.

Nah, pada awal Agustus, aku udah buat komitmen untuk “bangun” dan (biar bagaimanapun) harus belajar untuk tes TOEFL pada hari Rab, 8 Agustus. Jadi aku harus ngebut belajar. Dua hari yang lalu, aku udah siap belajar dan udah siap untuk ikut ujian, namun gara-gara abangku nyuruh aku cepat datang ke Bogor (dan artinya aku mesti berangkat paling cepat hari Rabu), jadinya aku ngga bisa ikut ujian. Ini baru membuatku sedih. Hiks…