Sejak revolusi industri tahun 1870-an, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) terus meningkat. Kegiatan seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri, penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan kendaraan bermotor pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Hal ini berakibat pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca (GRK) yang berada di atmosfer dan menyebabkan terperangkapnya panas matahari di atmosfer sehingga terjadi pemanasan global. Pemanasan global pada prosesnya akan menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut, yang menyebabkan meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Menurut Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC), ada 6 jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu: karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), serta hidroflorokarbon (HFCs).
Gas karbondioksida, dinitro oksida dan metana terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk 3 jenis GRK yang terakhir, sulfurheksaflorida, perflorokarbon dan hidroflorokarbon dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol.
Meningkatnya bukti ilmiah akan adanya pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan global, menyebabkan isu perubahan iklim menjadi perhatian dalam agenda politik internasional pada tahun 1980-an. Pada tahun 1988, World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) mendirikan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga yang terdiri dari para ilmuwan seluruh dunia yang bertugas meneliti fenomena perubahan iklim serta kemungkinan solusi yang harus dilakukan.
Pada tahun 1990, IPCC menghasilkan laporan pertamanya, First Assesment Report, yang menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius bagi seluruh dunia dan untuk itu diperlukan adanya kesepakatan global untuk mengatasi ancaman tersebut. Ini menjadi dasar lahirnya Protokol Kyoto pada tanggal 16 Pebruari 2005 yang kini telah diratifiksai 161 negara. Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional untuk melakukan langkah-langkah nyata dan terukur untuk menangani masalah perubahan iklim yang mungkin merupakan masalah lingkungan hidup terbesar yang tengah dihadapi bumi. Berdasarkan Protokol Kyoto, negara-negara maju yang meratifikasi perjanjian ini wajib menurunkan emisi gas rumah kaca mereka namun dengan kewajiban yang berbeda-beda.
IPCC memprediksikan pada tahun 2100 suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4°C, dan menurut para ahli hal ini akan menyebabkan kepunahan banyak spesies. Ketika suhu terus meningkat, berbagai spesies dan ekosistem di bumi akan terancam kepunahan, musim semakin tidak pasti, badai semakin besar, ledakan penyakit dipastikan akan meningkat seiring dengan naiknya suhu bumi. Penelitian WWF menunjukkan bahwa 33% habitat di bumi terancam, bahkan beberapa tanaman dan hewan telah menghadapi kepunahan. Beruang kutub misalnya, merupakan salah satu spesies yang terancam jika permukaan es Samudera Artic terus mencair secara drastis.
Keprihatinan terhadap seriusnya masalah global akibat peristiwa pemanasan global direspon dunia internasional dengan menetapkan isu pemanasan global sebagai tema Hari Bumi tahun 2006 hingga tahun 2009.
Laporan terbaru IPCC tertanggal 2 Pebruari 2007 memberikan kemungkinan 90% atau “very likely” bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim. Beberapa penemuan yang tercantum di dalam laporan tersebut antara lain:
- Telah terjadi kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76°C antara periode 1850 – 2005
- 11 dari 12 tahun terakhir (1995-2006) merupakan tahun-tahun dengan rata-rata suhu terpanas sejak dilakukan pengukuran suhu pertama kali pada tahun 1850
- Telah terjadi kenaikan permukaan air laut global rata-rata sebesar 1,8mm per tahun antara periode 1961 – 2003
- Telah terjadi kekeringan yang lebih intensif pada wilayah yang lebih luas sejak tahun 1970an, terutama di daerah tropis dan sub-tropis.
Ini merupakan bukti bahwa sesungguhnya perubahan iklim tengah terjadi saat ini. Meskipun perubahan iklim tidak begitu disadari oleh banyak orang, namun pada generasi mendatang dampak perubahan iklim akan sangat terasa. Pakar lingkungan hidup telah mengumpulkan bukti-bukti ilmiah antara lain bahwa pada Juni 1998 di Tibet terjadi gelombang udara panas dengan temperatur berkisar 25°C selama 23 hari, kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara di Kairo pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 41°C. Pada Agustus 1998 di Sidney Australia terjadi badai besar disertai hujan dengan intensitas 3 kali lebih tinggi dari normal. Sementara di Indonesia, Meksiko dan Spanyol terjadi musim kering berkepanjangan akibat dipicu oleh badai tropis yang berujung pada terbakarnya hutan.
Laporan IPCC juga memberikan proyeksi kondisi di masa depan:
- Diperkirakan terjadi kenaikan suhu antara 1,8°C – 4°C pada tahun 2100
- Diperkirakan terjadi kenaikan permukaan air laut antara 0,18m – 0,59m pada tahun 2100
Proyeksi di atas mempertegas kemungkinan terjadinya cuaca ekstrem seperti kenaikan intensitas curah hujan yang menyebabkan banjir, musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan kekeringan, serta perubahan panjang musim yang berdampak pada kehidupan manusia dan spesies lainnya. Di Indonesia sendiri diprediksikan akan terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm pada tahun 2070 yang akan menjadi ancaman bagi penduduk di daerah pantai karena tempat tinggal mereka terancam banjir serta penghasilan mereka (sebagai nelayan) terancam oleh perubahan gelombang pasang. Krisis air bersih akan terjadi di perkotaan, khususnya Jakarta akibat intrusi air laut. Perubahan iklim juga akan mengakibatkan rusaknya infrastruktur daerah tepi pantai sehingga Indonesia akan kehilangan sekitar 1.000 km jalan dan 5 pelabuhan laut; meningkatnya frekuensi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti penyakit malaria dan demam berdarah dengue; serta menurunnya produktivitas pertanian akibat perubahan suhu dan pola hujan yang tidak tentu.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai individu, kita mempunyai kewajiban menekan tingkat emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer, yang dihasilkan dari kegiatan kita. Langkah nyata yang bisa dilakukan adalah:
1. Hemat Listrik. Penggunaan lampu hemat energi serta peralatan elektronik (AC, TV, radio, dan Komputer) seperlunya saja akan mengurangi konsumsi listrik rumah tangga secara signifikan.
2. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi agar dapat menurunkan emisi GRK, atau menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.
3. Menanam pohon, karena dapat menyerap emisi GRK.
“Bumi ini bukan warisan untuk anak cucu kita, namun merupakan pinjaman dari anak cucu kita”